Kutipan dari Najwa Shihab - Halaman 12

Kekuasaan tidak lagi menyengat, karena hanya tontotan elite yang berjarak.

Kemiskinan menjadi tontonan, ketika negara memelihara kesenjangan.

Kepemimpinan bukan perkara jabatan, tapi soal menjawab persoalan, seraya menebarkan harapan.

Kontroversi menjadi bumbu yang menghidupkan agar pertunjukkan terus laris diperbincangkan.

Menghidupkan kembali kreatifitas, merayakan imajinasi yang tak berbatas.

Pemuda tak sempat jadi anak manis melihat kepongahan terasa begitu sinis.

Rakyat selalu dianggap mencari jago, para caleg sukarela bergaya superhero.

Sebab rakyat yang beri kuasa, rakyat juga yang membayar bea. Karena presiden memang bukan raja dan istana bukanlah pesanggrahan keluarga.

Karena pengekangan hanya melahirkan pembungkaman dan kemandirian disalah arti dengan ketundukan.

Keberanian menjadi panglima/keseriusan sebagai bendera dan optimisme menjelma sepucuk doa.

Layanan publik dibisniskan, urusan warga jadi dagangan. Orang miskin jadi korban, lantaran dianggap hanya diam.

Mengisi ruang kosong pemerintah, bertindak nyata bukan dengan banyak kata.

Para pencari keadilan terpojok, oleh peradilan dan hakim yang jorok.

Pembantu RI 1 harus jelas rekam jejak di publik, tidak semata hitungan balas jasa politik.

Penguasa dipilih silih-berganti, namun sistem hidup Jakarta kian menambah frustasi.

Polisi harus di garda terdepan, menciptakan efek jera bagi kejahatan.

Rekayasa kasus & salah tangkap, menjelaskan penegak hukum yang tak bertanggung jawab.

Republik ini butuh komandan, yang siap mendobrak keadaan.

Segelintir oligarki yang menguasai aset negara, sudah waktunya dihukum keras dengan mosi tidak percaya.

Sesekali harus berani keluar dari rutinitas, menikmati hidup dengan penuh otentisitas.