Kutipan dari Lalu Abdul Fatah

Langsung main sambit, main kasar. Yang penting marah dilampiaskan. Tak peduli pelampiasan yang tidak tepat sasaran dan sama sekali tak menghasilkan sesuatu, kecuali kemarahan yang lain. Kita terkadang menggaruk kepala, padahal gatalnya di kaki.

Tidakkah pemerintah menyadari bahwa larutan sianida yang digunakan oleh perusahaan pertambangan akan merusak keanekaragaman hayati.

Kepercayaan itu sungguh tak ubahnya kata sakti yang mujarab.

Betapapun orang asing ramah terhadap orang asing lainnya, tak lantas membuatnya peduli walau sekadar menanyakan keadaan kita.

Jarang sekali dokter yang mau ditempatkan di pulau terpencil. Jauh di pelosok terdalam yang bahkan google map saja tidak mengenalinya.

Tebu yang berat itu dihempaskan. Perempuan itu menarik napas yang seolah tertahan oleh beratnya beban di atas kepalanya. Kerbau yang digunakan untuk memutar mesin penggiling juga harus disewa. Tentu saja mereka tak sanggup membeli kerbau sendiri.

Hasil menjual gula saka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika anak-anak mereka sudah beranjak remaja, mereka harus menyiapkan uang lebih untuk biaya pendidikan.

Sebagian orang Indonesia lebih senang berdiam diri dengan prasangka, takut merepotkan, tak enak hati, dan malu tak berdasar.

Hanya saja, urusannya begitu rumit, butuh ‘pelicin’ di mana-mana. Selalu, proses tersebut terhenti dikarenakan habisnya persediaan ‘pelicin’. Ada apa sih dengan bangsa ini?

Seandainya saja program kapal gratis berlaku juga di berbagai pelosok tanah air lainnya. Betapa banyak manfaat yang akan dipetik dan dirasakan oleh masyarakat.

Terkadang, memang ada hal-hal di dunia ini yang tidak selalu bisa kita taklukkan.