Kutipan dari Riani Kasih

Hidup bagaikan dandelion. Bunga ini disebut prajurit angin karena mereka menebarkan benihnya dengan bantuan angin, terbang ke mana pun angin membawa. Bisa saja mendarat di tanah yang subur, ke danau dan tanah yang gersang. Kita sebenarnya perlu belajar dari bunga kecil ini bagaimana menerima kenyataan hidup. Dandelion yang terbawa angin tidak tahu di mana ia akan jatuh dan bagaimana kelak Tuhan menentukan cerita selanjutnya. Bahagia, sedih, atau hilang selamanya tanpa sempat menjadi dandelion baru.

Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah…

Mereka punya hak untuk bicara seperti itu. Kita punya hak untuk menutup telinga. Introspeksi diri sajalah. Yang penting tetap siaga kapan pun dan di mana pun. Tetap berbuat baik kapan pun dan di mana pun. Sesederhana itu.

Ikuti kata hati sajalah. Hati selalu bisa memandang lebih jelas ketimbang mata.

Jika kenangan adalah nyanyian, maka keheninganlah yang menjadi alat musiknya.

Suasana pagi mana lagi yang pantas dikeluhkan? Bukankah hidup itu indah jika dapat dinikmati sebagaimana mestinya? Saat harus bekerja, segenap pikiran pun fokus untuk bekerja.

Beberapa kesedihan akan sembuh seiring waktu.

Kadang-kadang kita memang perlu mengingat kenangan lalu, tapi sekali dua kali saja, jangan terlalu sering. Bukankah kita tidak hidup di masa lalu? Jadi apa yang membuatmu takut menciptakan kenangan baru?

Sekuat apa pun seorang lelaki, ia tetap perlu ruang diri sendiri dan untuk air matanya. Ruang bernama sepi.

Cinta punya takdirnya masing-masing.

Kadang-kadang sikap mampu berbicara lebih jelas dibandingkan kata-kata.

Ketika mencintai, kita harus siap kehilangan. Tapi siapa orang yang benar-benar siap menerima kehilangan?

Perempuan butuh ruang sendiri. Ada hal yang membuatnya tidak mau berbagi.

Kita butuh ruang sendiri untuk menghadapi kesedihan.

Kupikir pribadimu seperti buku. Hanya akan terbaca setelah membuka lembaran-lembarannya. Penuh kejutan. Kupikir begitu.